Sharing is Caring

BUKITTINGGI asakitanews.com – Pemimpin Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, seharusnya orang yang memahi kearifan lokal. Hal ini disampaikan tokoh masyarakat setempat Syamsul Bahri, SH. St. Sampono Ali, kepada media ini, Senin (7/10/2024) malam.

“Disamping paham kearifan lokal (adat budaya-red) juga harus mengetahui sejarah kota,” ujarnya.

Apa yang dimaksud terkait kearifan lokal, lanjut Syamsul, akrab disapa Makdang, dimana Bukittinggi merupakan kota berfilosofi Adat Basandi Syara’- Syara’ Basandi Kitabullah.

“Artinya, kota ini merupakan daerah yang masih mengakui adanya tatanan adat, agama, budaya dan hak-hak tradisional,” jelasnya.

Jadi, sambung Makdang, jika pemimpin tidak memahi kearifan lokal, maka tatanan adat, aqidah, budaya termasuk hak-hak tradisional, makin hilang digerus zaman.

“Bagaimana memperkuat dan mempertahan kearifan lokal didasari filosofi adat Minangkabau itu, kini saatnya masyarakat memilih pemimpin yang paham hal tersebut,” saran dia.

Ia katakan, jika seorang pemimpin memahami kearifan lokal, tentunya kedepan akan mendukung keberadaan dan keikutsertaan pemangku adat dalam segala aspek kebijakan. Hal itu sangat penting sebab setiap program pemerintah bakal melibatkan masyarakat adat itu sendiri.

“Dipastikan, perangkat adat atau kaum adat lah yang mengetahui persis bagaimana adat budaya dan lingkungan daerahnya sendiri,” terangnya.

Contoh nyata, lanjut konseptor dan inisiator Limbago Adat Nagari Kurai (LANK) V Jorong Bukittinggi itu, program pembangunan tidak melibatkan kaum adat, diantaranya membuat awning jalan Minangkabau, pasa Ateh.

“Akhirnya proyek pembangunan awning terhenti. Ternyata jalan tersebut sangat erat hubungan-nya dengan kearifan lokal atau adat istiadat nagari Kurai,” jelasnya.

“Kemudian, proyek pembangunan drainase membelah jalan utama kota, guna mengatasi masalah banjir. Juga tidak menyelesaikan masalah. Jika hujan, Bukittinggi tetap mengalami banjir,” sambung dia.

Makdang lanjutkan, Bukittinggi diagungkan sebagai kota Wisata. Setiap kota wisata itu, pasti menonjolkan budaya. Misalkan saja, budaya itu diantaranya ada berbentuk seni seperti randai, pencak silat dan berbagai tari-tarian lain.

“Kini budaya sebagai ciri khas daerah tidak lagi ditampilkan. Kenapa hal itu terjadi, sebab gedung pertunjukan seni selama ini ada, kini sudah diratakan, dan dibangun lahan parkir kendaraan roda dua. Padahal seni Minangkabau atau seni kearifan lokal merupakan daya tarik tersendiri terhadap para wisatawan,” katanya.

“Akibat tak adanya gedung seni, masyarakat adat tak punya tempat lagi berkarya guna melestarikan budaya negeri sendiri,” imbuhnya.

Terkait sejarah kota, tambah Makdang, Bukittinggi yang sebelumnya adalah nagari Kurai di Luhak Agam, merupakan kota perjuangan. Menjadi pusat pemerintahan Agam Tuo era kolonial Belanda, pernah sebagai pusat militer era penjajahan Jepang.

“Banyak lagi sejarah kota ini yang perlu dipahami pemimpin. Belum lagi, bagaimana para pemangku adat berjuang mempertahankan kearifan lokal dan hak-hak tradisional yang dirampas Belanda maupun Jepang hingga era kemerdekaan,” ungkapnya. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *