Syamsul Bahri, SH. St. Sampono Ali (kiri) bersama Prof. Dr. Eddy MarheniSyamsul Bahri, SH. St. Sampono Ali (kiri) bersama Prof. Dr. Eddy Marheni
Sharing is Caring

BUKITTINGGIasakitanews.com– Masing-masing nagari di Alam Minangkabau mempunyai harta kekayaan tradisional, salah satu harta itu adalah tanah ulayat. Tanah ulayat tersebut terbagi tiga kategori yakni tanah ulayat suku, kaum dan nagari. Semua status tanah ulayat itu merupakan warisan yang diperuntukan estafet dari generasi ke genarasi.

“Keberadaan tanah ulayat, diperuntukan bagi masyarakat hukum adat di masing-masing nagari dan dikelola berstatuskan hak pakai. Hak pakai, berlaku hingga akhir zaman terhadap keturunan masyarakat adat bersangkutan,” ujar cadiak pandai nagari Kurai, Bukittinggi Syamsul Bahri, SH. St. Sampono Ali di Bukittinggi, Sumatera Barat kepada asakitanews.com, Selasa (27/5/2025).

Pembagian tiga jenis tanah ulayat, Lanjut Sampono Ali, ditetapkan sejak berlakunya hukum adat Minangkabau dan aturan adat salingka nagari ratusan tahun silam. Tepatnya dimulai sejak nagari asal Pariangan hingga terbentuk wilayah luhak dan rantau.

Dijelaskan, seiring perkembangan masyarakat adat, maka dalam Wilayah luhak dan rantau, dibentuk nagari sekaligus nama nagari. Masing-masing nagari dihuni atau didiami berbagai kaum serta suku dengan batas- batas ulayat (wilayah) tertentu pula.

Dikatakan, pembagian tanah tulayat kaum maupun suku dalam wilayah adat di Masing-masing nagari dilaksanakan atas dasar musyawarah mufakat ninik mamak kaum dan suku atau mamak kepala waris. Sedangkan tanah ulayat nagari atau tanah adat yang masih merupakan hutan nagari merupakan tanah cadangan. Dimana suatu saat kemungkinan bakal dikelola atau pun dibagikan kepada cucu kemenakan yang membutuhkan.

“Pemegang kuasa tanah ulayat nagari termasuk hutan adat adalah penghulu nagari atau lembaga pemerintah adat (Limbago Adat). Tanah ulayat suku dikuasai Ninik Mamak Kepala Suku dan tanah ulayat kaum adalah Mamak Tungganai atau Mamak Kepala Waris,” terang Sampono Ali seraya katakan, penggunaan semua kategori tanah ulayat di Minangkabau merupakan hak pakai atau hak kelola sebab diperuntukan kepada anak cucu hingga akhir zaman.

“Hak kelola tanah ulayat diterapkan nenek moyang orang Minangkabau terdahulu berdasarkan undang adat yaitu dijua indak dimakan bali dan digadai indak dimakan sando. Artinya tidak boleh dijual belikan atau digadai kecuali ada tiga syarat seperti rumah gadang ketirisan (bocor), mayat terbujur di tengah rumah atau gadis rando (janda) tidak bersuami. Tetapi, syarat tersebut hanya kiasan sebab sesuatu yang tidak mungkin terjadi,” imbuhnya.

Pengunaan Tanah Ulayat Nagari Berdasarkan Hukum Adat

Sisi lain, kata Sampono Ali akrab disapa Mak Dang, keberadaan pemerintahan adat atau Limbago Adat di masing-masing nagari hingga saat ini belum berfungsi, terstruktur dan tersistem sebagaimana mestinya sehingga tidak mampu mengagatur tatakelola nagari adat dalam mengatur hak adat serta kepentingan masyarakat adat.

“Pada hal, legalitas penggunaan dan pemanfaatan tanah ulayat di nagari berada dalam Limbago Adat nagari berdasarkan Hukum Adat dan Adat Salingka Nagari. Hal tersebut, didukung ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menyebutkan hukum agraria atas bumi, air dan angkasa dilaksanakan berdasarkan hukum adat bersandarkan pada Hukum Agama,” terangnya.

“Selain mengacu pada Pasal 5 Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 juga ditindaklanjuti Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatan-nya. Kemudian diubah menjadi Perda Provinsi Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tanah Ulayat,” tambah Mak Dang.

Dijelaskan lagi, disebabkan tidak adanya keberadaan Limbago Adat, maka masing masing nagari di Alam Minangkabau belum melaksanakan pengaturan, penggunaan dan pemanfanatan tanah ulayat secara tertulis. Selain itu, tidak dilakukan pengadministrasian, pemetaan, pendaftaran penggunaan tanah ulayat oleh masyarakat adat dan pihak terkait.

“Sehingga belum ada pengesahan penggunaan tanah ulayat, tidak dilaksanakan pendaftaran kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat oleh Limbago Adat Nagari kepada Badan Pertanahan Nasional guna memenuhi ketentuan pemerintah dalam penyediaan data informasi pertanahan secara nasional, melalui Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota,” paparnya.

“Sedangkan tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya secara tertulis oleh Limbago Adat Nagari, adalah agar tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber daya alam guna kelangsungan hidup dan kehidupan turun-temurun. Dimana semua itu dimaksudkan nenek moyang orang Minangkabau agar tidak terputus hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayah adat yang bersangkutan,” jelas kata Mak Dang.

Diketahui, hasil penelitian inventarisasi dan identifikasi Tanah Ulayat Nagari di Sumatera Barat yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Andalas bekerjasama dengan Kementerian Agraria, Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Tahun 2021, menunjukkan saat ini khusus Tanah Ulayat Nagari di Sumatera Barat tinggal sekitar 8,38 persen.

Sekedar mengingatkan, masyarakat hukum adat Minangkabau terdiri dari lima unsur yakni Ninik Mamak, Alim Ulama (Syara’= Katik, Labai, Pakiah, Malin atau Tuanku), Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan Parik Paga.

Bersambung…(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *