Sharing is Caring

Agamasakitanews.com – Penataan kehidupan masyarakat Minangkabau di nagari- nagari sejak dulukala dipayungi falsafat adat, hukum adat dan adat salingka (seputaran) nagari. Hal ini disampaikan cadiak (cerdik) pandai nagari Kurai V Jorong, Bukittinggi, Sumatera Barat, Syamsul Bahri, SH, St. Sampono Ali kepada media ini di Agam, Jumat (23/5/2025).

Sampono Ali jelaskan, penataan kehidupan masyarakat adat, berada di bawah kepemimpinan tungku tigo sajarangan atau disebut tali tigo sapilin. Tali tigo sapilin dimaksud adalah Ninik Mamak selaku Rajo (raja) Adat, alim ulama selaku Rajo Ibadat dan cadiak pandai.

“Tugas cadiak pandai, disuruah pai, ditagah baranti (diperintah harus berangkat, dilarang harus dihentikan),” terangnya.

Kepemimpinan (pemerintahan/ kekusaan adat) lanjut Sampono Ali akrab disapa Mak Adang ini, termanagement di lembaga yaitu Limbago Adat. Sementara, roda pemerintahan berjalan berdasarkan asas musyawarah atau mufakat secara bajanjang naik batanggo turun (hirarki).

“Struktur dan sistem pemerintahan adat pun, sudah diwarisi turun temurun sejak terbentuknya nagari- nagari di alam Minangkabau,” jelasnya.

NKRI

Lebih jauh Mak Adang sampaikan, pasca berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1945, keseluruhan daerah di nusantara bergabung dalam NKRI.

Sejak itu, kata Mak Adang, terkait keberadaan masyarakat hukum adat, termaktub dalam konstitusi atau UUD NKRI 1945 pada pasal 18B ayat (2). Dimana, konstitusi menegaskan, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat termasuk hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup. Sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI sebagaimana diatur undang- undang.

“Artinya, konstitusi menegaskan, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak- hak tradisional yang diatur perundang- undangan,” papar Mak Adang.

Dijelaskan lagi, peraturan perundang- undangan yang mengatur kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat dan hak- hak tradisionalnya antara lain UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa (nagari di Sumatera Barat). (Lembaran negara tahun 2014 nomor 7, tambahan lembaran negara nomor 5495.

“Dan beberapa perundang- undangan serta aturan lain-nya terkaiit hak adat, ulayat adat serta masyarakat hukum adat, ” jelasnya.

Dalam NKRI, kata Mak Adang, diantara masyarakat hukum adat yang telah melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana diamanatkan konstitusi negara adalah Jogjakarta, Bali, Aceh, Melayu Deli Serdang, Melayu Riau dan Melayu Siak.

“Bahkan guna memperkuat kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat, Lembaga Adat Melayu Serdang di Sumatera Utara membentuk Lembaga Kesatuan Pemangku Adat Seluruh Indonesia (LKPASI),” sebut Mak Adang.

Masyarakat Adat Nagari Belum Laksanakan Perda Provinsi

Sebaliknya, sejauh ini di Alam Minangkabau, belum melaksanakan amanat konstitusi maupun perundangan- undangan. Meskipun Pemda Sumatera Barat menindaklanjuti pelaksanaan peraturan perundang- undangan negara dimaksud.

‘”Tindaklanjut Pemda Sumatera Barat berupa diterbitkan-nya Perda Provinsi Nomor 6 Tahun 2014 tentang penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Nilai Budaya Minangkabau,” jelas Mak Adang seraya mengingatkan, sebelumnya juga terbit Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemamfaatan-nya,” tambah dia.

“Artinya, masyarakat hukum adat nagari- nagari di Alam Minangkabau sejak 2008 hingga kini, belum menjalankan peraturan perundang- undangan negara dan Perda Provinsi Sumatera. Hal itu, tidak adanya keberadaan Limbago Adat Nagari guna menyelenggarakan pemerintahan adat sebagaimana diatur permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Masyarakat Desa (Nagari) dan Lembaga Adat Desa (Nagari) serta Perda Provinsi Sumbar Nomor 6 Tahun 2014,” ucap Mak Adang mengingatkan.

Konseptor sistem pemerintahan adat Kurai ini katakan lagi, melihat situasi dan kondisi saat ini, masyarakat hukum adat Minangkabau tidak melaksanakan penataan dan pengelolaan nagari adat berdasarkan hukum adat serta adat salingka nagari, dalam Limbago Adat.

“Kemudian, juga tidak melaksanakan peraturan perundang- undangan dan Perda Provinsi Sumbar sebagaimana diamanatkan pasal 18B ayat (2) UUD NKRI 1945,” sebutnya.

Pengakuan Pemerintah dan Limbago Adat

Ia sarankan, guna melaksanakan falsafah adat, hukum adat dan adat salingka nagari sekaligus mendapatkan pengakuan, termasuk perlindungan masyarakat hukum adat dari pemerintah kabupaten/ kota, maka masyarakat adat wajib melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan negara. Dan perda provinsi Sumbar.

“Menyusul, masyarakat hukum adat haruslah memfungsikan Limbago Adat Nagari yang diwarisi secara turun temurun. Hal itu bertujuan, agar pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan adat nagari berfungsi sebagai mestinya,” kata Mak Adang mengakiri. (***)

Foto : Syamsul Bahri, SH. St. Sampono Ali (insert)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *