Sharing is Caring

AGAMasakitanews.com- Guna memahami hukum dan aturan adat salingka nagari yang legal serta formal sesuai perkembangan hukum negara di Alam Minangkabau tampaknya harus menyasar generasi muda. Hal ini disampaikan pegiat kekuasaan (pemerintahan) adat Alam Minangkabau, A. Efendi, St. Palito Alam kepada asakitanews.com di Agam, Sumatera Barat, Sabtu (28/12/2024).

“Solusi tercepat memahami hal tersebut (hukum dan aturan adat Alam Minangkabau) mungkin kita merangkul generasi muda. Generasi muda itu, mereka yang rata- rata usia 12 hingga 20 tahun,” kata Palito.

Menurut dia, generasi usia demikian, belum terkontaminasi berbagai isu politik, sosial dan lainnya di lini kehidupan masyarakat Minang. Baik generasi di ranah (kampung halaman) maupun di perantauan.

“Mereka bakal lebih tertarik akan tatanan hukum dan aturan adat di nagari asal masing- masing. Hanya saja, perlu pendidik (cerdik pandai) yang paham hukum dan aturan adat dalam kekuasaan adat,” ucap dia sambil menambahkan, pendidik itu hadir atau bersedia memberikan pemaparan secara kontinu (terus menerus).

Ia prediksi, sebetulnya guna memberikan pemaparan hukum dan aturan adat di masing- masing nagari dalam Tigo Luhak, Rantau maupun di Alam Minangkabau tidak begitu sulit.

Kata dia, fasilitas dan tempat guna merealisikan proses belajar mengajar hukum maupun aturan adat di masing- masing nagari tersedia, yakni Surau. Meskipun keberadaan Surau tidak semua dimiliki masing- masing kaum atau suku.

“Surau selain tempat pembelajaran tauhid (Agama/ syara’) juga dimanfaatkan sebagai proses belajar mengajar tatanan dan sistem hukum adat Minangkabau maupun aturan adat salingka nagari. Merealisasikan hal tersebut, diperlukan pemikiran termasuk upaya keras unsur masyarakat adat Minangkabau,” katanya.

Jika upaya itu tidak dilakukan, kata Palito lagi, niscaya generasi mendatang pada buta akan hukum, aturan, tatatanan dan sistem kekuasaan adat Alam Minangkabau.

“Kita kwatir generasi Minang mendatang, bakal kehilangan pedoman dan jati diri ke Minangan-nya. Sebab tidak paham apa yang dimaksud hukum adat, aturan adat, falsafah adat, sako, pusako, kaum, suku, Surau, akhlak (adab/ budi pekerti), budaya dan lain-nya sebagaimana ciri khas orang Minang,” sebutnya.

“Tak kalah penting, tugas pokok dan fungsi perangkat adat seperti ninik mamak, cadiak pandai serta alim ulama (Tungku Tigo Sajarangan/ Tali Tigo Sapilin) mendatang, bakal lebih paham jika pembelajaran adat maupun syara’ pada kekuasaan adat diajarkan sejak dini. Apa lagi, seiring waktu berjalan bakal terjadi regenerasi. Patah tumbuh hilang berganti,” terangnya.

Ia katakan, bagaimanapun hingga akhir zaman, masyarakat Minangkabau yang berfilosofikan “Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” bakal tetap menjadi salah satu etnis yang beradat berbudaya tersendiri di bumi ini.

“Sekali lagi, pemangku adat mendatang baik pewaris gelar sako (ninik mamak), alim ulama dan candiak pandai, hendaknya benar- benar paham makna filosofi adat dan turunan-nya termasuk makna yang terkandung dalam filosofi tersebut,” harap Palito.

Kata dia, falsafah adat bukan sekedar sebutan di bibir atau sekedar pajangan berbentuk tulisan semata. Akan tetapi, punya makna sakral dan religius sebagai kompas (pedoman) bagi masyakat Minang di kehidupan dunia menuju akhirat.

“Syara’ mangato adat mamakai. Raso dibao naiak, pareso dibao turun. Payuang iduik di dunia, panarang jalan ka sarugo. Iduik dipakai mati ditumpang” . Dan seterusnya.

“Ungkapan yang disampaikan para nenek moyang orang Minangkabau di atas,  bermakna dalam sehingga harus kita pelajari. Tidak sekedar ungkapan biasa, tetapi beroreantasi antara adat dan syara,” ucap dia.

Terpisah, generasi muda nagari Sungai Pua, Agam di Kurai, Kota Bukittinggi, Jon Badorai setuju dan mendukung penuh langkah pembelajaran kekuasaan adat Minangkabau menyasar generasi usia disebutkan di atas.

“Sebaiknya memang kita menyasar atau memberikan pembelajaran hukum dan aturan adat kepada generasi usia dini. Agar penerima waris pemangku adat mendatang punya pemahaman cukup,” ujar Jon.

Menurut pemerhati kekuasaan adat Alam Minangkabau itu, jika pemahaman hukum dan aturan adat ditujukan kepada generasi saat ini, seperti ninik mamak, cadiak pandai dan alim ulama, diprediksi bakal sulit menerima.

“Faktanya, kita sama- sama melihat, beliau berjalan sendiri- sendiri, seakan tidak menerima masukan apa yang dimaksud kekuasaan adat, kesatuan adat, limbago adat, hukum adat, perangkat adat, makna falsafah adat maupun aturan adat salingka nagari. Padahal semua (pemangku adat) seharusnya menjadi satu kesatuan dalam limbago adat serta bertanggungjawab penuh terhadap kaum, suku, kampung, jorong dan nagari,” papar Jon.

Intinya, jelas dia, jika hukum dan aturan adat berfungsi di Alam Minangkabau, cara terbaik adalah menyasar generasi usia dini. Meskipun menunggu agak lama.

“Mohon maaf, kita tidak bisa berharap banyak terhadap para perangkat adat saat ini. Jalan satu- satunya memfungsikan kekuasaan adat “mambangkik batang tarandam” adalah mengkaderisasi generasi usia dini tadi. Biarlah kita berproses agak lama namun hasilnya pasti,” tegasnya.

Pria yang juga pengurus salah satu organisasi pedagang di Bukittinggi itu jelaskan lagi, dimana kekuasaan adat berwadahkan Limbago Adat telah ada jauh sebelum negara Indonesia merdeka. Bahkan, kata dia, sebelum masuknya kolonial Belanda ke Alam Minangkabau.

Jadi, tambah Jon, keberadan kekuasaan adat atau masyarakat hukum adat di Alam Minangkabau keberadaannya lebih dulu, jauh sebelum kemerdekaan negara Indonesia. Dengan demikian, kata dia, memfungsikan kembali kekuasaan adat tidak menyalahi peraturan dan perundangan yang berlaku dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Bahkan konstitusi negara mengakui kesatuan masyarakat hukum adat. Termasuk peraturan daerah (perda) provinsi Sumatera Barat, juga berikan ruang memfungsikan kekuasaan adat,” kata Jon.

Ia tambahkan lagi, tujuan semua ini agar masyarakat Minangkabau, punya marwah dan kewibawaan sendiri. Terlebih terhadap para pemangku adat alias ninik mamak selaku pemimpin yang punya kewenangan serta tanggungjawab moral terhadap generasi mendatang.

“Selain tujuan mulia di atas, juga menghindari generasi mendatang (anak cucu) jangan sampai merasa merantau di negeri sendiri. Hal itu kemungkinan nanti bakal bisa terjadi jika tidak diberikan pemahaman hukum dan aturan adat sejak dini. Setiap undang- undang dan aturan dilanggar pasti ada sanksi. Nah, bagaimana undang adat Minangkabau dan aturan adat salingka nagari berfungsi serta punya sanksi yang mengikat, itu lah yang harus kita pikirkan serta upayakan bersama selaku anak nagari,” ingat Jon.

Rancak tapian dek anak mudo, rancak kampuang dek nan tuo. Ijuak basaga, lurah ba batu. Ini lah yang disebut menjaga tumpah darah dan adat budaya (kearifan lokal),” ujar dia mengakhiri. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *