AGAM – asakitanews.com– Sebagian generasi muda Minangkabau masih berkeinginan bagaimana masyarakat adat berada dalam kesatuan. Artinya, Lima unsur masyarakat adat yakni ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan parik paga satu kesatuan, berada dalam sebuah lembaga yaitu Limbago Adat.
Diketahui, Limbago Adat bukan merupakan organisasi adat, akan tetapi merupakan organisasi hukum adat yang terbentuk sejak dulu kala. Menjalankan roda kekuasaan adat dalam organisaipun, berlandaskan falsafah Minangkabau, yakni Adat Basandi Syara’- Syara’ Bersandi Kitabullah.
Di Alam Minangkabau, ninik mamak adalah pemimpin kaum, suku, kampung, jorong dan nagari. Seorang pemimpin adat (ninik mamak) tersebut bergelar datuk (datuak). Gelar jabatan datuk mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) atau bertanggungjawab menyelesaikan suatu perkara yang terjadi pada kaum, suku, kampung, jorong dan nagari. Dimana dalam undang adat disebutkan kusuik manyalasai, karuah manjaniahkan (kusut menyelesaikan, keruh menjernihkan) dan seterusnya.
Bertugas menjalankan kekuasaan adatnya, ninik mamak tidaklah sendiri, tetapi didampingi para cadiak pandai (cerdik pandai) dan alim ulama. Biasa disebut tungku tigo sajarangan. Kategori ulama versi Minangkabau di masing-masing nagari beragam, namun berkewajiban tugas sama. Diantara kategori ulama itu bergelar tuanku, labai, pakiah dan katik. Tupoksinya adalah mengajarkan atau mendidik bidang ilmu agama seperti tauhid dan aqidah (akhlak). Termasuk memberikan pembelajaran adat istiadat Minangkabau kepada anak kemenakan sejak dini. Sedangkan ruang tempat proses belajar mengajar adalah Surau. Dibeberapa nagari di Alam Minangkabau, segelintir masih berdiri surau, namun terlihat sepi pada malam hari, tidak terlaksana proses belajar mengajar alias surau tuo semakin sepi.
Sementara, cadiak pandai unsur anak kemenakan menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan formal, seperti ilmu tatakelola pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum negara dan bidang lain sesuai perkembangan zaman. Anak kemenakan itu, selain berkedudukan sebagai cadiak pandai, ada pula diposisi parik paga (pengamanan nagari/ rancak tapian dek anak mudo, rancak kampuang dek nan tuo).
Kekuasaan adat, juga tidak terlepas atas kepemimpinan pangulu. Dimana pangulu berasal dari unsur ninik mamak yang juga bergelar datuk. Pangulu merupakan sebuah hukum (pucuk pimpinan nagari dan berkapasitas memutus suatu perkara/ biang tabuak, gantiang putuih). Dengan demikian, maka berlaku sistem hirarki kekuasaan adat yang terstruktur, seperti kamanakan saparintah (turut dan patuh perintah) ninik mamak, ninik mamak saparintah pangulu, pangulu saparintah mufakaik (musyawarah). Mufakaik saparintah nan bana (kebenaran) dan kebenaran datang sendirinya, yaitu dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hanya saja, kekuasaan adat yang seharusnya terstruktur dan tersistem, hingga kini belum berfungsi atau belum terlaksana di masing-masing nagari dalam wilayah Alam Minangkabau. Ini, disebabkan tidak adanya wadah yang disebut Limbago Adat.
Terkait hal itu, generasi muda (cadiak pandai dan parik paga) berharapan, hendaknya Limbago Adat di masing-masing nagari terbentuk dan kembali berfungsi.
“Kami anak kemenakan, ingin kekuasaan adat nagari berfungsi. Tapi, selama ini kami belum paham dan tidak mendapatkan pembelajaran terkait sistem, struktur serta managament pemerintahan adat dalam organisasi Limbago Adat dimaksud,” ujar Ren, seorang generasi muda nagari III Koto Silungkang, kecamatan Palembayan, Agam, Sumatera Barat, usai dialog bersama asakitanews.com, belum lama ini.
Pria muda itu, didampingi puluhan rekan sebaya termasuk dihadiri seorang datuk suku Piliang, Dt. Mendang, mengakui, bahwa selama ini dirinya tidak mengetahui tupoksi masing-masing para perangkat adat seperti ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan parik paga.
“Baru ini, kami mendengar pemaparan terkait kekuasaan adat yang terstruktur dalam Limbago Adat. Kami berharap, kedepan ada inisiator yang mampu memobilisasi sekaligus memberi pemahamam detail. Tidak lain, bertujuan agar terbentuk sistem kekuasaan adat. Kemudian, setiap aturan adat salingka (seputaran) nagari berlaku mengikat. Baik oleh pihak luar maupun terhadap masyarakat adat nagari,” harap dia.
Sebelumnya, dialog terkait kekuasaan adat bertema “Beradat Berlimbago” terlaksana di jorong Silungkang. Dialog terlaksana secara spontanitas bersama Efendi Koto yang kebetulan jurnalis media ini.
Efendi mengatakan, etnis Minangkabau merupakan kelompok masyarakat hukum adat. Dibuktikan masih adanya kelompok kaum, suku, kampung, jorong dan nagari. setiap pengelompokan, juga memiliki ulayat (wilayah) tertentu seperti adanya ulayat kaum, suku, kampung jorong dan nagari. “Semua ulayat itu, merupakan aset kekayaan tradisional,” jelasnya di Luhak Agam, Rabu (19/11/2024).
Namun, lanjut dia, aset-aset kekayaan nagari atau aset kekayaan tradisional yang berasal dari peninggalan nenek moyang, tidak terdokumentasi sebagaimana mestinya, sehingga sering menimbulkan permasalahan, sengketa ulayat dalam nagari. Baik sengketa batas, kuasa, maupun sengketa hak kepemilikan.
Fenomena demikian, kata Efendi, tentu akibat tidak berfungsinya kekuasaan adat yang legal dan formal sesuai perkembangan hukum negara. Padahal keberadaan kekuasaan adat, diakui konstitusi negara. Hal itu, tertuang dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 Republik Indonesia yang menyatakan bahwa negara mengakui, menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup. Dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
“Jelas, keberadaan masyarakat hukum adat diakui negara. Akan tetapi, pengakuan negara itu, tidak diimplementasikan dalam bentuk kesatuan. Hal ini, terbukti tidak adanya kesatuan masyarakat adat dalam wadah yang terorganisir yaitu Limbago Adat,” terangnya.
Selain pengakuan negara, tambah dia, peraturan daerah (Perda) provinsi Sumatera Barat nomor 6 tahun 2014, juga memberikan ruang atas kesatuan masyarakat hukum adat. Dalam Perda tersebut dinyatakan terkait penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Nilai Budaya Minangkabau.
Kata dia, para pemangku adat mungkin beranggapan organisasi adat yang berbentuk Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah wadah kesatuan masyarakat hukum adat.
“Lembaga berbentuk LKAAM maupun KAN, berbeda jauh dengan Lembaga Adat (Limbago Adat). LKAAM didirikan pada tahun 1966 berdasarkan kebutuhan di eranya dan merupakan
organisasi para ninik mamak di tingkat kabupaten kota dalam provinsi Sumatera Barat. Begitu juga KAN disetiap nagari, adalah organisasi ninik mamak tingkat nagari di kecamatan dan didirikan pada tahun 1983. Kemudian, apapun bentuk peraturan yang dikeluarkan dua organisasi itu, hanya bersifat rekomendasi (usulan/ himbauan). Sedangkan keberadaan Limbago Adat telah ada jauh sebelum masuknya kolonial Belanda ke Alam Minangkabau,” paparnya.
“Tepatnya, Limbago Adat adalah warisan kekuasaan adat yang diterima secara turun menurun. Di dalam Limbago Adat, mencakup semua unsur masyarakat, yakni adanya pangulu, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan parik paga (kesatuan masyarakat hukum adat). Maka, hal ini tertuang dalam undang adat yang berbunyi beradat berlimbago,” papar Efendi seraya menambahkan, sementara setiap peraturan yang diterbitkan Limbago Adat berlaku mengikat ke luar dan ke dalam.
Ia tak lupa mengapresiasi dan ucapkan terimakasih atas pengakuan dan minat generasi muda (Ren bersama para rekannya termasuk perangkat adat Dt. Mendang) dimana mereka berkeinginan memfungsikan kembali Limbago Adat.
“Saya selaku anak nagari berada di perantauan, tentunya mengucapkan terimakasih atas minat para generasi muda di kampung. Dimana mereka masih peduli dan berpikiran terhadap penguatan kesatuan masyarakat hukum adat di Alam Minangkabau. Insya Allah, saya berupaya mengkondisikan inisiator agar para generasi muda lebih memahami hukum adat, aturan adat salingka nagari, undang adat, sanksi adat, roda pemerintahan adat, ulayat, sako, pusako, batas ulayat dan hal lain terkait adat Alam Minangkabau. Kedepan tercipta kekuasaan adat yang terstruktur, tersistem serta terdokumentasi (arsip). Dan pada akhirnya bakal menjadi satu kesatuan di dalam Limbago Adat” ucapnya.
Sekedar mengingatkan, pimpinan dalam pemerintahan adat salingka nagari, dikuasai penuh oleh pangulu. Misalnya, di nagari Kurai Kota Bukittinggi, kekuasaan penuh berada di tangan Pangulu Pucuak. Hal sama disalah satu nagari di kecamatan Baso, juga berada di bawah pangulu, namum dinagari itu, Pangulu Pucuak disebut Pisuluik.
Di sisi lain tak kalah penting, aturan adat berlaku di salingka nagari, bukan di salingka jorong atau kecamatan. Lain Lubuak, lain ikan. Lain padang, lain belalang. Kendati demikian, terjadinya perbedaan pelaksanaan aturan di masing-masing nagari, prakteknya tetap mengacu kepada hukum adat Alam Minangkabau yang berlandaskan Adat Basandi Syara’- Syara’ Basandi Kitabullah.
Kemudian, nagari-nagari di Alam Minangkabau berada dalam wilayah tertentu. Misalnya, nagari III Koto Silungkang termasuk nagari lain versi pemerintahan kabupaten Agam sebanyak 82 nagari, berada dalam wilayah Luhak Agam. Ada agari-nagari berada di wilayah Luhak Limo Puluah Koto dan Luhak Tanah Datar. Wilayah itu disebut Luhak nan Tigo.
Selanjutnya, nagari-nagari dalam wilayah Rantau. Keseluruhan, baik wilayah Luhak nan Tigo maupun Rantau (Luhak ba Pangulu, Rantau ba Rajo) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam wilayah Alam Minangkabau. Terpenting, setiap tingkatan itu, mulai dari wilayah kaum, suku, kampung, jorong, nagari, luhak, rantau dan Alam Minangkabau juga mempunyai batas-batas tertentu. Meskipun kini wilayah Alam Minangkabau masuk wilayah administrasi provinsi lain di luar provinsi Sumatera Barat.
Terpenting lagi, agar keberlangsungan tatanan pemerintahan adat Alam Minangkabau di masing-masing nagari terus berkelanjutan, tentunya perlu upaya dan pemikiran serius
masyarakat hukum adat itu sendiri, baik yang berada di kampung maupun di perantauan.
“Tiang tuo Alam Minangkabau alah mulai goyah. Saatnya masyarakat adat berupaya dan memikirkan serta memperkuat dengan cara kembali memfungsikan Limbago Adat sekaligus
menjaga amanah atau warisan nenek moyang yang diperuntukan bagi generasi selanjutnya/ anak cucu hingga akhir zaman. Barek samo kito pikua, ringan samo kito jinjiang,” ajak Efendi.
Terpisah, cadiak pandai nagari Kurai, Syamsul Bahri, SH. St. Sampono Ali menjelaskan, mengembalikan fungsi kekuasaan adat dalam kesatuan adalah solusi terbaik menjaga warisan yang diamanah nenek moyang Minangkabau. Mulai warisan berbentuk ulayat, tatanan masyarakat beradat berlimbago, aqidah generasi mengacu kepada adat basandi syara’ (agama Islam), memfungsikan tempat proses belajar mengajar tauhid (Surau) hingga pemahaman tupoksi tungku tigo sajarangan melalui pendidikan dan pelatihan.
“Kita berharap, mambangkik batang tarandam (memfungsikan Limbago Adat) tidak lah mudah. Tetapi, jika kita upayakan secara kebersamaan melibatkan lima unsur masyarakat hukum adat, tentunya beban berat bakal menjadi ringan,” ucap Syamsul akrab disapa Mak Dang.
Tujuan semua itu, tambah pria yang sejak 30 tahun silam mempelajari berbagai tatanan masyarakat adat Indonesia, tidak lain guna melestarikan warisan berupa adat budaya, kearifan lokal dan tumpah darah berkelanjutan yang dirintis para nenek moyang orang Minangkabau.
“Jika warisan sako dan pusako kita terima, bagaimana pun wajib kita jaga dan pertahankan demi generasi mendatang,” tegas Mak Dang.
Ia tambahkan, upaya dan harapan terwujud, setidaknya bakal mampu meminimalisir fenomena alam (musibah), tingkah laku atau akhlak di luar kaidah, perilaku generasi menyimpang, dekadensi moral, sengketa ulayat, sepinya surau dan masjid hingga rasa komunal (kebersamaan) yang makin menipis.
“Bersama kita kembalikan siriah ka gagang, pinang katampuaknyo. Sasek di ujuang jalan, baliak kito ka pangka. Insya Allah, bumi bakal senang, padi manjadi,” tutup Mak Dang yang memahami konsep dan sistem kekuasaan adat Alam Minangkabau. (and)